Sejak
dulu, masyarakat Arab menghargai kemampuan bahasa seseorang, karena kemampuan
itu akan menunjukkan kualitas bicara orang tersebut. Penghargaan yang tinggi
pada kemampuan inilah yang kemudian menyebabkan berkembangnya seni dan literatur
di dunia Arab. Jadi, sebelum Islam, puisi dan musik memang telah berkembang
sejak lama di dalam tradisi Arab.
Terbukti
pada masa pra Islam, orang-orang Arab kerap menghabiskan waktu untuk
mendengarkan puisi dan musik. Keduanya, puisi dan musik, memang sangat
berhubungan. Komposisi puisi tak akan berjalan dengan baik tanpa pola musikal
dalam setiap baitnya. Sedangkan musik atau lagu merupakan bentuk bebas dari
puisi. Musik pun kemudian berkembang pula pada masa Islam, yang tentunya
disesuaikan dengan aturan Islam.
Dalam
catatan sejarah, khususnya, Kitab Al-Aghani yang ditulis sekitar abad kesepuluh,
oleh Al-Isfahani (897-967), dinyatakan bahwa selama penyebaran Islam di wilayah
Arabia, Persia, Turki, dan India musik berkembang pesat. Kemudian terbawa
sampai masa-masa awal kekhalifahan Islam dan mencapai puncaknya pada masa
kekhalifahan Abbasiyah.
Selama
tahun-tahun pertama kekhalifahan Muslim, telah bermunculan musisi-musisi Islam
ternama, di antaranya adalah Sa'ib Khathir (683), Tuwais (710), dan Ibn Mijjah
(705-714). Kaum Muslim juga menerjemahkan sejumlah karya musik dari musisi
Yunani, khususnya, pada saat masa kekhalifahan Al-Ma'mun yang merupakan bagian
dari proyek Bait Al-Hikma.
Proyek ini merupakan upaya untuk menerjemahkan karya-karya ilmuwan luar,
khususnya Yunani.
Penerjemahaman
itu dilakukan atas karya-karya Aristoxenos, Aristoteles, Euclid, Ptolemy, dan
Nikomachos. Lalu karya musik tersebut diperbaharui dan disesuaikan dengan
aturan Islam agar tak bersifat sekuler dan menyerupai praktik-praktik dalam
penyembahan berhala. Perkembangan yang terjadi pada masa Abbasiyah juga
merupakan warisan pemikiran dari cendekiawan-cendekiawan Muslim terdahulu.
Sebelum
masa kekhalifahan Abbasiyah, musik dianggap sebagai cabang dari filsafat dan
matematika. Tak heran jika kemudian Al Kindi, filosfof dan ahli matematika ternama,
memiliki pengatahuan yang luas pula tentang musik. Makanya ia dianggap sebagai
orang pertama yang meletakkan dasar teori musik. Ia membicarakan tentang
konotasi kosmologikal musik.
Al
Kindi juga dikenal sebagai orang yang pertama kali merealisasikan apa yang
kemudian disebut sebagai terapi musik. Ini terbukti dengan upaya Al Kindi
menggunakan terapi musik untuk menyembuhkan penyakit. Dalam bidang musik, ia
meninggalkan 15 karyanya. Namun dari ke-15 karya itu, hanya 5 karyanya tentang
musik yang masih ada. Kata 'musik' -- diambil dari kata musiq --
juga pertama kali dikenalkan olehnya dengan menjadikannya judul salah satu
kitabnya.
Apa
yang dilakukan oleh Al Kindi, kemudian diikuti pula oleh penerusnya, yaitu Al
Farabi (870-950). Ia yang hidup di istana Saif al-Dawla Al- Hamdani di Aleppo, juga dikenal sebagai orang
yang mencintai puisi dan musik yang membuatnya mengembangkan kemampuan musikal
dan meletakkan dasar-dasar teori musik.
Definisinya
tentang kekuatan musik menunjukkan kedalaman pemahamannya tentang musik. Ia
menyatakan bahwa suara binatang mengekspresikan emosi mereka baik dalam
kegembiraan maupun kesedihan. Sedangkan suara manusia mengungkapkan perasaan
yang lebih beragam. Dengan suara yang mengekspresikan keberagaman itulah
membuat orang lain merasa kasihan maupun simpati.
Tak
heran jika kemudian Al Farabi mampu membuat orang tertawa, menangis, atau
tertidur ketika ia memainkan musik. Ia pun ditengarai sebagai penemu alat musik
rebab dan qanun.
Seperti pendahulunya, Al-Farabi juga menulis lima buku, salah satu karyanya
yang berjudul Kitabu
al-Musiqa to al-Kabir merupakan
karya fenomenal tentang teori musik dalam Islam.
Dalam
bukunya ini, ia memperkenalkan berbagai sistem pitch. Pengaruh karya Al Farabi berlangssung hingga
abad keenam belas. Kitab Al-Musiqi karyanya kemudian diterjemahkan oleh
Ibn Aqnin (1160-1226) ke dalam bahasa Ibrani sedangkan terjemahan dalam bahasa
Latin diberi judul De Scientiis dan De Ortu
Scientiarum.
Selain
kedua filosof yang juga ahli musik di atas, kita pun tak dapat mengabaikan
keberadaan Ibn Sina, sang dokter, yang juga menelurkan karya yang memiliki
banyak bagian yang menjelaskan tentang musik di antaranya adalah al-Shifi dan al-Najat. Ada pula kelompok kajian yang disebut dengan Ikhwan Al-Safaa', dengan pendekatan mistikal dan
sufistiknya mereka telah membawa musik ke dalam dimensinya yang baru.
Mereka
menjadikan musik sebagai media kontemplasi yang membantu baik tubuh maupun jiwa
agar selalu mengingat akan eksistensi dan kebesaran Allah. Pandangan ini lebih
lanjut dikembangkan oleh Abu Hamid Al-Ghazali yang menyatakan bahwa musik dapat
membantu seseorang meningkatkan perasaan religiusnya dan mengalami pengalaman
mistik. Ia menerangkan hal ihwal musik di dalam karya-karyanya.
Di
antaranya dalam buku Ihya Ulum
Al-Din dan Kitabul Adab al-Sami al-Uae'dh, yang menjelaskan
tentang penggunaan musik dan lagu dalam kehidupan spiritual. Ada pula sufi
terkenal bernama Jalaludin Rumi yang menyatakan bahwa musik merupakan sarana
untuk mencapai penyatuan mistik dengan Tuhan. Ia bahkan memadukan musik dengan
tari untuk mencapai pengalaman spiritual.